NAMA : FITRIA
SUMAWARDANI
KELAS :
1KA16
NPM :
12111935
Sejarah
timbulnya berbagai macam kebudayaan daerah
Budaya timbul dari turun temurun kebiasaan dan pola pikir nenek
moyang kita yang di ajarkan baik melalui perbuatan, lisan dan mitos-mitos yang
berkembang di Zaman tersebut. Indonesia
adalah Negara yang begitu luas dan memiliki ciri khas memiliki banyak
pulau-pulau yang terpisah oleh lautan dan selat, memiliki sejarah perkembangan
budaya yang tidak sama dan membuat kebudayaan itu menjadi semakin beragam.
Daerah yang berada dalam satu wilayah pun kadang mengalami perbedaan
perkembangan kebudayaan. Hal ini karena adanya perbedaan intensitas budaya asing
yang masuk ke masing-masing daerah. Pada zaman dulu banyak para pedagang asing
yang singah di negara indonesia, mereka akan membawa budayanya mereka kepada
masyarakat indonesia yang menjadi berkembang dan tertanam sejak jaman itu dan
perbedaan periode (lama waktu) intervensi budaya luar terhadap budaya lokal
daerah. Para pedagang asing itu pasti memiliki periode waktunya untuk mendatangi
pulau indonesia. Bahkan untuk negara-negara yang jauh dari kawasan Indonesia
harus menempuh jalur yang sangat jauh. Hal ini juga mempengaruhi terjadinya
perbedaan waktu tentang masuknya budaya. Dan ada juga hal dimana pedagang asing
hanya berlabuh singkat di indonesia,maka budaya yang akan di serap juga
berbeda.
faktor –faktor utama tersebut berperan
dalam membentuk budaya Indonesia saat ini yang begitu beragam. Dalam
perkembangannya,Unsur religi melatar belakangi perkembangan budaya. Unsur tersebut
melahirkan pandangan hidup dan Pola pikir. Religi selalu hadir dalam bentuk apa
pun di setiap kebudayaan etnik di dunia. Tak terkecuali etnik
di Nusantara. Bentuk Religi dalam wujudnya yang paling pertama adalah
menghormati kekuatan yang mengisi ruang alam. Kekuatan tersebut mencakup
kekuatan negatif maupun positif. Tak bisa disangkal bahwa kedua kekuatan
tersebut hadir dalam kehidupan manusia. Kekuatan tidak berbentuk dan dapat
menghuni berbagai ruang seperti bebatuan, sungai, pepohonan atau lembah.
Saat peradaban mulai berkembang, religi menyesuaikan bentuknya
dengan pemikiran manusia. Ketua kelompok dipilih oleh anggotanya berdasarkan
konsep Primus Interpares (yaitu orang yang paling unggul di antara para
unggulan). Selama menjadi pemimpin, ketua kelompok diharuskan sanggup
menyelenggarakan pesta jasa (fiest of merit) pada seluruh anggotanya. Pesta
tersebut bisa berupa pendirian monumen untuk mengenangnya. Monumen tersebut
biasanya berbentuk punden berundak, dengan menhir yang menjulang tegak di atasnya.
Jika meninggal, roh ketua kelompok akan mendiami puncak-puncak gunung bersama
roh leluhur. Roh ketua kelompok dapat dipanggil sewaktu-waktu rakyatnya
memerlukan pertolongan dengan memasuki menhir yang menjadi simbolitas. Dengan
demikian lahirlah Religi Pemujaan terhadap Arwah Leluhur (ancestor worship) di
Nusantara.
Demikianlah ketika agama besar dunia hadir ke kehidupan penduduk
di kepulauan Nusantara pada awal tarikh Masehi. Dalam bidang religi, nenek
moyang kita sudah mempunyai dasar yang baik, yaitu sudah bisa
mengidentifikasikan kekuatan supranatural. Mereka sudah mampu mengatur warganya
sesuai dengan pandangan hidup terhadap kekuatan supranatural. Mereka juga mampu
menciptakan kesenian yang didedikasikan untuk kekuatan supranatural, dan masih
banyak lagi bentuk apresiasi lainnya untuk alam supranatural. Agama Hindu dan
Buddha yang diterima secara luas di Jawa, Sumatera, Bali, dan sedikit di
Kalimantan sebenarnya merupakan pembungkus dari ritual pemujaan terhadap arwah
leluhur. Agama Islam, Kristen, Katholik yang datang menyusul mendapatkan
sambutan yang baik dan berkembang dengan subur di beberapa wilayah berbeda
Nusantara. Perbedaan pendalaman agama-agama besar itu terjadi karena akulturasi
dengan lapisan kebudayaan yang sudah mengendap sebelumnya. Hingga dewasa ini
kehidupan religi di Indonesia berjalan dengan baik, rasa toleransi, dan
melanjutkan tradisi tetap hidup, di antara etnik-etnik besar atau pun kecil.
Budaya Indonesia mulai berkembang sejak Zaman:
a. Zaman Batu Tua (Paleolitikum)
Periode zaman ini adalah antara tahun
50.000 SM - 10.000 SM. Pada zaman ini, manusia hidup secara nomaden dalam
kumpulan kecil untuk mencari makanan. Mereka memburu binatang, menangkap ikan dan mengambil
hasil hutan sebagai makanan. Mereka belum bisa bercocok tanam. Mereka
menggunakan batu, kayu dan tulang binatang untuk membuat peralatan memburu.
Mereka membuat pakaian dari kulit binatang tangkapan mereka. Selain itu, mereka
telah pandai menggunakan api untuk memasak, memanaskan badan dan mengusir
binatang.
b. Zaman Batu Pertengahan (Mesolitikum)
Ketika masa mesolitikum, penduduk Indonesia
sudah mulai hidup dengan cara menetap dan sudah mulai bercocok tanam secara
sederhana untuk memenuhi kebutuhan makanan mereka, disamping berburu hewan dan
menangkap ikan. Tempat tinggal yang mereka pilih umumnya berlokasi di tepi
pantai (kjokkenmoddinger) dan goa-goa (abris sous roche).
Kjokkenmoddinger adalah sampah dapur yang berisi siput,
kerang dan barang-barang hasil kebudayaan seperti kapak genggam, ditemukan di
sepanjang pantai timur Pulau Sumatera.
Abris sous roche
adalah goa menyerupai ceruk batu karang yang digunakan manusia sebagai tempat
tinggal. Ditemukan didaerah Madiun, Besuki, Timor dan Rote.
c. Zaman Batu Muda
(Neolitikum)
Zaman batu muda (Neolitikum) benar-benar membawa revolusi dalam
kehidupan manusia. Pada zaman ini, mereka telah hidup menetap, membuat rumah,
membentuk kelompok masyarakat desa, bertani dan berternak untuk memenuhi
kebutuhan hidup. Sejalan dengan itu revolusi alat-alat penunjang kehidupanpun
terjadi.
Setelah masa Neolitikum, kemudian kebudayaan Indonesia berlanjut
kemasa zaman logam. Hal ini ditandai dengan dikenalnya tekhnik untuk mengecor /
mencairkan logam dari biji besi, dan menuangkan kedalam cetakan-cetakan serta
mendinginkannya. Oleh karena itulah mereka mampu membuat aneka ragam senjata
berburu dan berperang serta alat-alat lain yang mereka perlukan.
Pada masa kekuasaan Hindu-Buddha, masyarakat bisa mengangkat
negeri ini hingga mencapai kejayaan. Masyarakat saat ini masih merasa ikut
memiliki peninggalan peradaban tersebut, misalnya peninggalan kerajaan
Sriwijaya atau Mataram Kuno. Peninggalan tersebut rupanya bisa dimanfaatkan
menjadi sumber penghidupan masyarakat saat ini. Wisatawan berdatangan untuk
melihat peninggalan sejarah yang dijadikan sebagai objek wisata, mengagumi
kejayaan masa lalu. Hal itu membuktikan bahwa sistem sosial masyarakat di masa
lalu tidaklah buruk, bahkan mereka mampu membangun karya monumental yang
membanggakan.
Masa kejayaan Islam merupakan kebanggaan bagi sebagian masyarakat.
Hal itu ditimbulkan dari anggapan bahwa keberhasilan penyebar agama Islam mampu
menanamkan kekuasaan di Nusantara. Masyarakat yang tadinya tidak beragama /
kafir, bisa diubah menjadi masyarakat yang bermartabat dan agamis. Agama Islam
menjadi rujukan pembuatan tata nilai atau seluruh tindakan sosial di Nusantara.
Beberapa kesultanan didirikan oleh bangsa Arab atau setidaknya
mengadopsi nama-nama Arab yang menandakan mereka adalah Islam. Istilah
“sulthan” menjadi sebutan bagi penguasa di berbagai kerajaan kecil yang mampu
bertahan. Pertikaian antarkelompok mewarnai kerajaan-kerajaan Islam. Di Aceh,
pengikut Hamzah Fansyuri diburu dan seluruh buku karangan Hamzah Fansyuri pun
dibakar. Pengikut Ar Raniri, orang Arab dari Kerala, membantu mempertahankan
kelangsungan Islam di Aceh.
Penyebar Islam di Jawa kebanyakan merujuk pada satu dewan wali
yang dikenal dengan Walisongo. Beberapa anggotanya seperti Sunan Kalijogo,
Sunan Kudus, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Gunung Jati, kyai Pandan Aran
masih menjadi tokoh yang sangat dikagumi hingga masa kini. Di Sulawesi ada
kesan khusus pada satu tokoh Islam karena dianggap sebagai simbol perlawanan
pada kaum kafir, orang Belanda, yaitu Syeh Yusuf yang diasingkan ke Afrika
Selatan.
Masyarakat Islam Indonesia pada masa kini belum berhasil
menghasilkan sesuatu yang bermakna. Mungkin satu-satunya peninggalan kerajaan
Islam yang tersisa adalah “Serat Centhini di Jawa”, yang berupa sebuah
ensiklopedi yang cukup tebal. Serat itu mungkin hanya tertandingi oleh “La Galigo”
dari Sulawesi Selatan yang mungkin dibuat pada masa Kerajaan Sawungaling.
Masyarakat saat ini tidak mampu bersatu untuk menciptakan karya-karya
monumental seperti masa dahulu.
Masa pendudukan Belanda di Indonesia
merupakan masa-masa paling gelap.Bangsa Indonesia sama sekali tidak memiliki kesempatan
untuk berkembang sebagai suatu bangsa yang mandiri. Kita hanya bisa mengagumi
bagaimana bangsa Jepang mampu bertahan dan melakukan restorasi Meiji yang
terkenal sehingga menyejajarkan kedudukan Jepang dengan bangsa-bangsa Barat.
Selanjutnya, orang-orang yang digolongkan ke kelompok ‘abangan’
ini mampu melahirkan ide-ide cemerlang untuk bangsa. Kita semua mengenal
nama-nama seperti Tan Malaka, Douwes Dekker, atau bahkan Bung Karno.
Tokoh-tokoh tersebut telah merintis jalur ke arah kemerdekaan dan memungkinkan
pembebasan bangsa ini dari segala bentuk penjajahan baik fisik, ekonomi, dan
mental spiritual.
Sejak 1945, setelah Jepang menyerah pada sekutu, bangsa
Indonesia merasa bebas dan bersatu mendirikan negara Indonesia. Undang-undang
Dasar 1945 dan Pancasila menjadi landasan falsafah bangsa. Sebagai landasan
idiologi yang mengambarkan ciri khas negara indonesia tidak di miliki negara
lain
REFERENSI
Dewantara, Ki Hajar. 1994. ”Kebudayaan”. Penerbit Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa;
Yogyakarta.